Sebuah Cerita Sebuah Keluarga

By Luthfia Syahnaz - 18.32


Haloo, perkenalkan nama saya Sania Asnatha. Sekarang saya duduk di kelas II SMA. Saya adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak saya bernama Winaya Yanasitha. Saya memanggilnya Kak Wina. Kak Wina adalah sosok yang hebat di mata saya, saya sangat mengaguminya, yaah walaupun saya tidak akan bisa seperti dia. Semua kelebihannya daripada saya pernah membuat saya iri, tetapi saya sadar. Apapun yang saya lakukan, saya tidak akan bisa menyamainya. Saya sangat bangga mempunyai Kakak seperti Kak Wina, dialah yang menjaga saya selama ini, melindungi saya, menemani saya disaat senang maupun sedih, dan saya sangat menyanyanginya. Kak Wina adalah 'anak emas' dalam keluarga kami. Dia baik, cantik, hebat, optimistis, hampir semua keinginannya dapat ia capai. Namun sayang, semua kehebatannya justru membuat dia sombong. Tidak heran sih, perhatian istimewa dari seluruh keluarga untuknya tidak akan habis. Di dunia ini mungkin cuma satu yang ia sesalkan, yaitu mempunyai adik seperti saya. Sedih bukan? Maklum saja, segala kesempurnaannya harus terrusak dengan kehadiran saya. Bukan karena saya mengambil alih perhatian keluarga, ya itu memang benar, tapi dengan cara lain. Kalau Kak Wina mendapat perhatian karena kehebatannya, saya mendapat perhatian karena kecacatan saya. Ya, saya adalah anak cacat. Bukan autis, tapi buntung. Tangan dan kaki. Saat lahir saya adalah bayi yang normal. Dua mata, telinga, tangan, kaki dan satu hidung, serta mulut. Saya belum cacat. Saya ingat ketika masih kecil, saya sedang menggambar dengan pensil warna baru yang dibelikan Eyang, saya sangat senang waktu itu. Tapi tiba-tiba ketika saya selesai mengambil minum di dapur, dan ingin melanjutkan mewarnai gambar saya, Kak Wina mengambil pensil warna saya dan membawanya ke Rumah teman Kak Wina di seberang Rumah kami. Saya berlari mengejarnya, sampai saya mendengar bunyi klakson yang sangat keras dan gesekan ban mobil dengan aspal. Saat itu saya masih bisa melihat Kak Wina masuk ke Rumah tetangga kami. Yaah, kira-kira itulah peristiwa yang melatar belakangi tubuh saya saat ini. Hanya Eyang yang tahu cerita ini, karena hanya Eyang yang bertanya mengapa saya berlari ke seberang Rumah tanpa melihat kiri-kanan dahulu, dan saya menjawab kalau saya berlari mengejar Kak Wina yang membawa pensil warna saya. Seluruh keluarga saya, bahkan Mama dan Papa justru menganggap kecelakaan itu karena saya bermain di jalan. Saya tidak apa-apa, saya sangat bersyukur masih bisa hidup walau dengan tubuh yang cacat. Kak Wina pernah berkata lebih baik saya mati daripada seperti ini karena saking memalukannya. Saya sangat sedih, di saat saya kehilangan anggota badan saya dan saya sedang sangat terpukul oleh hal itu, justru Kakak yang saya sayang malah memaki saya. Dan dia sering memarahi saya ketika saya mulai putus asa. Tapi untunglah, perlahan saya tahu maksud Kak Wina, dia hanya tidak ingin adiknya menyerah dengan nasib. Kak Wina selalu menjadi penuntun untuk saya didepan, dan pendorong bagi saya dari belakang, dibalik kekecewaanya mempunyai adik seperti saya, Kak Wina adalah Kakak yang sangat bertanggung jawab pada adiknya. Dan saya juga beruntung, saya masih memiliki Eyang yang mengerti keadaan saya. Sekarang saya sudah terbiasa dengan keadaan saya, bahkan saya telah memakai tangan dan kaki palsu, walaupun palsu, tapi tetap sama saja kan fungsinya untuk memudahkan organisasi sistem gerak saya. Saya sudah memiliki motivasi, yaitu apapun keadaan saya, saya harus mampu melakukan segalanya, bahkan lebih baik dari Kakak. Selama ini, apapun yang saya lakukan selalu salah di mata Kak Wina, dia hanya ingin saya seperti dia. Siapa yang tidak mau jadi dia? Saya ingin, ingin sekali malah. Bukan saya pesimis dengan keadaan tubuh saya, tapi saya butuh waktu untuk menyesuaikan. Dia adalah anak emas yang selalu dibanggakan orang tua saya, bahkan Om dan Tante saya juga sangat akrab dengan Kak Wina, saya iri. Setiap kali ingin mengakrabkan diri dengan mereka, saya minder. Tapi semenjak diberi wejangan oleh Eyang, bahwa 'kalau kita minder, kapan kita bisa maju?' saya jadi bersemangat kembali untuk bersosialisasi. Kalau dipikir-pikir, sangat kontras sekali seorang Kak Wina memiliki adik seperti saya. Dulu saya pernah berharap. Berharap tidak pernah ada. Tapi saya masih punya harapan, dan asa itu masih ada. Sekarang saya memiliki adik, seorang adik yang lucu bernama Yudha Saniga. Saya sangat senang memiliki adik seperti Dik Yudha. Adik saya lucu, pintar, sama seperti Kak Wina, saya hanya berharap adik saya tidak sombong seperti kakak. Lewat Dik Yudha, saya seperti merasakan kelahiran harapan baru, harapan untuk terus berjuang dalam hidup ini. Tanpa menyerah, tanpa putus asa, dan tanpa minder. Apapun yang terjadi, saya akan berusaha keras menjadi Kakak terbaik untuk Dik Yudha, seperti Kak Wina menjadi Kakak terbaik untuk saya :)



Nb: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila terjadi kesamaan nama, tokoh, tempat bahkan kisah itu adalah kebetulan semata. Jangan GR ataupun marah. Cerita ini hanya untuk hiburan dan mengisi kekosongan blog saya :D
Terimakasih, :)

  • Share:

You Might Also Like

2 comments

  1. eeaaaaa...
    lha eyange ki ceritane sopo?

    BalasHapus
  2. Mending 'eyang'nya jadi tokoh imajiner aja, yaitu semangat kita... chayoo GPASN ! :D

    BalasHapus